Ucapan
syukur terdengar sepele, mudah dan bahkan sangat mudah untuk diucapkan saat
hidup kita berada dalam titik terbaik. Bahkan, ada yang sampai bersorak,
berlari-lari kegirangan, melompat-lompat dengan nada lantang menyerukan ucapan
syukur bahwasanya Tuhan itu baik. Tidak ada yang salah dengan semua ekspresi
ini, dan memang seharusnya demikian. Akan tetapi, masih adakah sorakan ucapan
syukur saat kita kehilangan pekerjaan, dilukai, terancam bahaya ,dan
dilupakan? Kalaupun masih ada, masih
lantang dan berapi-apikah ucapan syukur kita? Perlukah mengucap syukur dan
mengatakan Tuhan baik saat kita ada di titik terendah dalam hidup? Terlebih dalam
badai pandemik Covid-19 ini? Lantas mengapa ucapan syukur begitu penting dan
apa hubungannya dengan iman?.
Setiap
kali mengucap syukur, kita tidak sedang berkata-kata untuk diri kita sendiri
ataupun manusia lain. Ungkapan “trima kasih Tuhan”, “Tuhan Yesus baik”, “Tuhan
Yesus penyembuh”, hanya “Tuhan satu-satunya penolong”, dan ungkapan syukur
lainnya adalah bentuk pengagungan kita untuk Tuhan. Tidak hanya itu, ketika kita mengucap syukur,
terlebih dalam titik terendah, kita sebenarnya sedang menyediakan ruang bagi
Tuhan di posisi pertama dan yang terutama mengatasi setiap permasalahan dan
upaya-upaya mengandalkan kekuatan manusia kita. Hal ini turut menjelaskan apa
yang dimaksud “Ibrani 11:1” Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang
kita harapkan. Dasar menunjukan hal pertama, dan ucapan syukur adalah
tindakan iman yang menjadikan Tuhan di posisi pertama melampaui segala yang ada
ataupun terjadi Selain itu, ucapan
syukur juga menunjukan fokus kita, ke pada apa dan siapa mata kita tertuju.
Kebenarannya adalah mata yang tertuju pada Tuhan, yang penuh kesempurnaan,
mujizat, dan perbuatan dahsyat, hanya
akan melahirkan kekaguman dan ucapan syukur bukan
keluhan ataupun umpatan. Jika dikaitkan dengan “bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat (Ibrani 11:1)”
fokus dan mata yang tertuju kepada Tuhan akan membuahkan rasa percaya penuh,
bukan setengah-setengah, yang memampukan kita melihat kesembuhan dalam
kesakitan, sukacita di tengah badai dukacita, kelimpahan dalam kekurangan, lewat
ucapan syukur. Alkitab mencatat, Tuhan tergerak oleh iman bukan kebutuhan.
Dengan kata lain, jika ucapan syukur adalah bentuk iman, maka Tuhan juga
tertarik dan tergerak oleh ucapan syukur kita.
Sedikit
kisah saya : Pemotongan gaji semasa pandemik bukanlah hal yang mudah. Harus
kuliah dengan berbagai kebutuhan dan kemungkinan ketidakcukupan, sulit rasanya
untuk bersyukur jika bukan Tuhan yang menguatkan saya. Di sepanjang jalan
selepas menerima keputusan, saya memutuskan untuk mengingat kebaikan Tuhan yang
akhirnya membuat saya bersyukur bahwa saya masih sehat, bahwa saya masih
bekerja dan masih digaji, bahwa Tuhan baik, Tuhan yang mencukupkan, dan setiap
harinya saya bersyukur untuk apa yang saya lihat, dengar, dan rasakan. Sakit?
Iya karena daging saya menghendaki cacian dan umpatan. Tapi Roh Tuhan
menguatkan saya untuk tetap bersyukur hingga akhirnya saya dipercayakan
pekerjaan tambahan yang penghasilannya lebih dari separuh gaji yang hilang.
Tidak hanya itu, saya juga tercatat sebagai penerima bantuan dari daerah saya.
Seperti mimpi. Tapi itulah Tuhan, saat saya bersyukur, Ia sanggup kembalikan
lebih dari yang hilang.
Bersyukurlah
kepada Tuhan, bahwasanya untuk selama-lamanya
kasih setia-Nya!!
Renungan ini ditulis oleh Inggi
Wantalangi Moloku (Juara 1 Lomba Menulis Renungan dari Permata UNY)