Menjadi sukacita dan kelimpahan di tengah kondisi Adaptasi Kebiasaan Baru bukanlah hal yang mudah. Masa sukar yang dialami
setiap orang ini
pastinya tidaklah sama.
Tetapi Tuhan sedang mengajarkan kita untuk berpegang pada
pengharapanNya. Ada satu video
di Youtube, yang menguatkan saya dan ingin berbagi dalam renungan ini. Roma 12 : 12 “Bersukacitalah dalam
pengharapan, sabarlah dalam kesesakan, dan bertekunlah dalam doa!”. Hanya satu ayat ini saja dan saya renungkan ayat ini selama pandemik ini terjadi.
Bagaimana bisa
menjadi bersukacita, kala kita tidak bisa bebas dalam beraktivitas? Tidak sedikit yang kiriman bulanannya tersendat dikarenakan mobilitas keuangan macet. Dan saya belajar ternyata sukacita dalam berkat Tuhan tidak hanya berupa materi saja tapi bisa berupa kesehatan,
waktu, dan keberadaan kita. Saudara, setiap hari kita melihat jam, akrab dengan
waktu di masa pandemik
ini. Namun
pernahkah kita menyadari, jika waktu adalah berkat yang diberikan Tuhan bagi
kita? Ada sukacita, ketika kita bisa berkomunikasi dengan keluarga lebih banyak lagi.
Memandangi diri di cermin, merenungkan apa saja yang kita lakukan, dan
merefleksi diri dalam elegi fajar, kala lutut bertelut dalam saat teduh.
Bersukacitalah dalam pengharapan, meskipun banyak harapan kita yang mungkin
belum tercapai. Bahkan mungkin, harapan kita yang menguap hilang karena pandemik
ini. Dengan bersukacita beban menjadi terasa ringan. Bukankah berjalan dengan
hati bahagia, membuat harapan cepat sampai “semakin besar”?
Sabarlah dalam kesesakan. Bersabarlah, karena kesesakan adalah jeda. Mengarungi beratnya persoalan dalam
hidup dengan hati yang besungut-sungut, jauh lebih sulit dan semakin sukar. Dalam
kesabaran ada penerimaan, membuat kita mampu memandang jauh ke depan dengan
jernih, cerdas, dan ihklas. Kutipan yang paling saya sukai dari video
tersebut adalah “Tidak ada tanjakan tanpa turunan.” Anggaplah kita sedang
berjuang melihat matahari terbit, di tengah
jalan setapak yang terjal. Suatu ketika, saat Anda sampai di puncak dan
menyaksikannya maka rasa lelah dan penat, terbayar sudah.
Menyaksikan semburat jingga di atas
awan, menyusup dalam relung hati, sebuah prestasi atas jerih lelah itu. Janganpermah menyerah di tengah jalan, lalu berbalik dan hilang.
Tuhan melatih kita untuk menjadi anak-anak pemenang, bukan anak-anak gampangan!
Tetaplah Berdoa. Satu hal yang mungkin
adalah tetap berdoa. Sekeren apapun kita berusaha tanpa doa semuanya akan menjadi sia-sia. Lewat doa, kita menyampaikan rasa penat kita
pada Tuhan, Penjamin hidup kita. Menurut saya, doa
bukan hal formal yang harus menggunakan kata-kata indah. Doa berbicara tentang
kebutuhan, penyembahan, ketergantungan kita pada Tuhan, serta bentuk penyerahan
segala sesuatu kepada Tuhan seutuhnya. Jika kita
berdoa, untuk membuat keadaan berbalik menjadi seturut kehendak kita maka sebaiknya jangan
berdoa, sebab itu tidak akan terjadi. Bukan iman kita yang kurang dari sebiji
sesawi, tapi doa dengan motivasi yang salah akan membuat kita kecewa. Serahkan saja masalah kita kepada Tuhan, meskipun memang ketika berdoa,
masalah kita tidak langsung selesai. Seringkali jalan
keluar tidak langsung muncul seketika itu juga, tapi setidaknya beban dalam
pundak kita, terkurangi. Doa membuat kita terhubung dengan dimensi yang
berbeda, itu adalah kepercayaan kita akan janji Tuhan.
Pandemik
ini musibah, benar. Namun bersama Tuhan, pandemik ini menjadi sarana pendewasaan iman kita sebagai anak-anak Tuhan. Terpujilah nama Tuhan. Sebuah
ayat penutup renungan kali ini saya ambil dari:
“Hosea 14 : 10 “Siapa yang bijaksana, biarlah ia memahami
semua ini; siapa yang paham, biarlah ia mengetahuinya; sebab jalan-jalan Tuhan
adalah lurus, dan orang benar menempuhnya, tetapi pemberontak tergelincir
di situ.”
Renungan ini dipersembahkan oleh Siska Dian