Siapa
yang dahulu lahirnya sungsang? Sungsang adalah kondisi di mana posisi
kepala bayi di dalam rahim berada di atas. Sedangkan, kelahiran yang normal
posisi kepala bayi di dalam rahim berada
di bawah. Dengan bahasa lain, sungsang adalah posisi yang tidak biasa dan berbeda. Sungsang
sifatnya upside-down. Yang biasanya
di bawah bisa berada di atas dan sebaliknya, yang biasanya di atas bisa berada
di bawah. Demikian juga dalam bacaan Injil Yohanes 9: 2-3 menjadi realitas sungsang.
Injil Yohanes 9:
2-3 mengisahkan Tuhan Yesus yang dihadapkan dengan pertanyaan mengenai orang
yang buta sejak lahir. “Siapa yang berbuat dosa, orang ini sendiri atau orang
tuanya, sehingga ia dilahirkan buta? (ayat 2).” Pertanyaan tersebut bernuansa theodise. Theodise berasal dari kata Yunani, yaitu Theo atau Tuhan dan dike
atau keadilan. Artinya, keadilan, kebenaran atau pembenaran terhadap Allah oleh
manusia. Akan tetapi, Yesus menjawab, “Bukan dia dan bukan juga orang tuanya,
tetapi karena pekerjaan-pekerjaan Allah harus dinyatakan di dalam dia (Ayat 3).”
Jawaban tersebutlah yang bernuansa Providentia Dei atau penyelenggaraan Ilahi. Dengan demikian, inilah realitas sungsang.
Masyarakat Yahudi
pada saat itu memiliki sudut pandang bahwa penyakit (baca: orang buta) dan
kemiskinan dikaitkan dengan kutukan dari dosa orang itu sendiri atau dosa orang
tua. Orang buta menjadi representasi dari mereka yang lemah, dipandang rendah,
dan ditindas. Akan tetapi, Yesus mengubah sudut pandang tersebut bahwa melalui mereka
yang lemah, dipandang rendah, dan ditindas maka pekerjaan-pekerjaan Allah dapat
dinyatakan. Melalui jawaban Yesus tersebut memberikan pemahaman dan keyakinan
bahwa Allah juga turut hadir dan bersolidaritas dalam kehidupan manusia. Allah
hadir dan bersolidaritas terhadap mereka yang lemah dan dimarginalkan. Lalu,
bagaimana pekerjaan Allah dapat dinyatakan
Pekerjaan Allah dapat dinyatakan
dengan bagaimana manusia memberikan uluran tangannya kepada mereka yang
membutuhkan. Orang yang lahir buta tersebut tidak lagi dilihat memiliki kutuk
akibat dosa, melainkan ada orang yang harus memberikan uluran tangan kepada
orang buta. Mereka yang lemah, dipandang rendah, dan ditindas pun menjadi tanda
kehadiran dan solidaritas Allah. Dengan demikian, memberikan uluran tangan
kepada mereka, kita pun juga turut melakukan dan menyatakan pekerjaan-pekerjaan
Allah.
Di tengah pusaran
pandemik Covid-19, marilah kita tidak melihat kondisi ini sebagai kutukan dari
dosa-dosa manusia. Akan tetapi, sebagai kondisi di mana pekerjaan-pekerjaan
Allah dinyatakan. Marilah kita mengulurkan tangan bagi mereka yang membutuhkan
pertolongan kita untuk menyatakan penyelenggaraan Ilahi. Di tengah pandemik
Covid-19 ini, Quo Vadis (ke mana
engkau pergi)? Pergi dan arahkanlah dirimu menjadi bagian dari Providentia Dei.
Renungan
ini ditulis oleh Antonius Prasetyo Jati (Juara 2
Lomba Menulis Renungan dari Permata 2020)
No comments:
Post a Comment