Thursday, July 23, 2020

Sukacita dan Kelimpahan di Tengah Adaptasi Kebiasaan Baru


Menjadi sukacita dan kelimpahan di tengah kondisi Adaptasi Kebiasaan Baru bukanlah hal yang mudah. Masa sukar yang dialami setiap orang ini pastinya tidaklah sama. Tetapi Tuhan sedang mengajarkan kita untuk berpegang pada pengharapanNya. Ada satu video di Youtube, yang menguatkan saya dan ingin berbagi dalam renungan ini.  Roma 12 : 12 “Bersukacitalah dalam pengharapan, sabarlah dalam kesesakan, dan bertekunlah dalam doa!”. Hanya satu ayat ini saja dan saya renungkan  ayat ini selama pandemik  ini terjadi.

Bagaimana bisa menjadi bersukacita, kala kita tidak bisa bebas dalam beraktivitas? Tidak sedikit yang kiriman bulanannya tersendat dikarenakan mobilitas keuangan macet. Dan saya belajar ternyata sukacita dalam berkat Tuhan tidak hanya berupa materi saja tapi bisa berupa kesehatan, waktu, dan keberadaan kita. Saudara, setiap hari kita melihat jam, akrab dengan waktu di masa pandemik ini.  Namun pernahkah kita menyadari, jika waktu adalah berkat yang diberikan Tuhan bagi kita? Ada sukacita, ketika kita bisa berkomunikasi dengan keluarga lebih banyak lagi. Memandangi diri di cermin, merenungkan apa saja yang kita lakukan, dan merefleksi diri dalam elegi fajar, kala lutut bertelut dalam saat teduh. Bersukacitalah dalam pengharapan, meskipun banyak harapan kita yang mungkin belum tercapai. Bahkan mungkin, harapan kita yang menguap hilang karena pandemik ini. Dengan bersukacita beban menjadi terasa ringan. Bukankah berjalan dengan hati bahagia, membuat harapan cepat sampai “semakin besar”?


Sabarlah dalam kesesakan. Bersabarlah, karena kesesakan adalah jeda. Mengarungi beratnya persoalan dalam hidup dengan hati yang besungut-sungut, jauh lebih sulit dan  semakin sukar. Dalam kesabaran ada penerimaan, membuat kita mampu memandang jauh ke depan dengan jernih, cerdas, dan ihklas. Kutipan yang paling saya sukai dari video tersebut adalah “Tidak ada tanjakan tanpa turunan.” Anggaplah kita sedang berjuang melihat matahari terbit, di tengah jalan setapak yang terjal. Suatu ketika, saat Anda sampai di puncak dan menyaksikannya maka rasa lelah dan penat, terbayar sudah. Menyaksikan semburat jingga di atas awan, menyusup dalam relung hati, sebuah prestasi atas jerih lelah itu. Janganpermah  menyerah di tengah jalan, lalu berbalik dan hilang. Tuhan melatih kita untuk menjadi anak-anak pemenang,  bukan anak-anak gampangan!

Tetaplah Berdoa. Satu hal yang mungkin adalah tetap berdoa. Sekeren apapun kita berusaha tanpa doa semuanya akan menjadi sia-sia. Lewat doa, kita menyampaikan rasa penat kita pada Tuhan, Penjamin hidup kita. Menurut saya, doa bukan hal formal yang harus menggunakan kata-kata indah. Doa berbicara tentang kebutuhan, penyembahan, ketergantungan kita pada Tuhan, serta bentuk penyerahan segala sesuatu kepada Tuhan seutuhnya. Jika kita berdoa, untuk membuat keadaan berbalik menjadi seturut kehendak kita maka sebaiknya  jangan berdoa, sebab itu tidak akan terjadi. Bukan iman kita yang kurang dari sebiji sesawi, tapi doa dengan motivasi yang salah akan membuat kita kecewa. Serahkan saja masalah kita kepada Tuhan, meskipun memang ketika berdoa, masalah kita tidak langsung selesai. Seringkali jalan keluar tidak langsung muncul seketika itu juga, tapi setidaknya beban dalam pundak kita, terkurangi.  Doa membuat kita terhubung dengan dimensi yang berbeda, itu adalah kepercayaan kita akan janji Tuhan.

 Pandemik ini musibah, benar. Namun bersama Tuhan, pandemik ini menjadi sarana pendewasaan iman kita sebagai  anak-anak Tuhan. Terpujilah nama Tuhan. Sebuah ayat penutup renungan kali ini saya ambil dari:


“Hosea 14 : 10 “Siapa yang bijaksana, biarlah ia memahami semua ini; siapa yang paham, biarlah ia mengetahuinya; sebab jalan-jalan Tuhan adalah lurus, dan orang benar menempuhnya, tetapi pemberontak tergelincir di situ.”

Renungan ini dipersembahkan oleh  Siska Dian

No comments:

Post a Comment