Thursday, July 2, 2020

Theodise atau Providentia Dei ?


Siapa yang dahulu lahirnya sungsang? Sungsang adalah kondisi di mana posisi kepala bayi di dalam rahim berada di atas. Sedangkan, kelahiran yang normal posisi kepala bayi di dalam rahim  berada di bawah. Dengan bahasa lain, sungsang  adalah posisi yang tidak biasa dan berbeda. Sungsang sifatnya upside-down. Yang biasanya di bawah bisa berada di atas dan sebaliknya, yang biasanya di atas bisa berada di bawah. Demikian juga dalam bacaan Injil Yohanes 9: 2-3 menjadi realitas sungsang.

Injil Yohanes 9: 2-3 mengisahkan Tuhan Yesus yang dihadapkan dengan pertanyaan mengenai orang yang buta sejak lahir. “Siapa yang berbuat dosa, orang ini sendiri atau orang tuanya, sehingga ia dilahirkan buta? (ayat 2).” Pertanyaan tersebut bernuansa theodise. Theodise berasal dari kata Yunani, yaitu Theo atau Tuhan dan dike atau keadilan. Artinya, keadilan, kebenaran atau pembenaran terhadap Allah oleh manusia. Akan tetapi, Yesus menjawab, “Bukan dia dan bukan juga orang tuanya, tetapi karena pekerjaan-pekerjaan Allah harus dinyatakan di dalam dia (Ayat 3).” Jawaban tersebutlah yang bernuansa Providentia Dei atau penyelenggaraan Ilahi. Dengan demikian, inilah realitas sungsang.
Masyarakat Yahudi pada saat itu memiliki sudut pandang bahwa penyakit (baca: orang buta) dan kemiskinan dikaitkan dengan kutukan dari dosa orang itu sendiri atau dosa orang tua. Orang buta menjadi representasi dari mereka yang lemah, dipandang rendah, dan ditindas. Akan tetapi, Yesus mengubah sudut pandang tersebut bahwa melalui mereka yang lemah, dipandang rendah, dan ditindas maka pekerjaan-pekerjaan Allah dapat dinyatakan. Melalui jawaban Yesus tersebut memberikan pemahaman dan keyakinan bahwa Allah juga turut hadir dan bersolidaritas dalam kehidupan manusia. Allah hadir dan bersolidaritas terhadap mereka yang lemah dan dimarginalkan. Lalu, bagaimana pekerjaan Allah dapat dinyatakan
            Pekerjaan Allah dapat dinyatakan dengan bagaimana manusia memberikan uluran tangannya kepada mereka yang membutuhkan. Orang yang lahir buta tersebut tidak lagi dilihat memiliki kutuk akibat dosa, melainkan ada orang yang harus memberikan uluran tangan kepada orang buta. Mereka yang lemah, dipandang rendah, dan ditindas pun menjadi tanda kehadiran dan solidaritas Allah. Dengan demikian, memberikan uluran tangan kepada mereka, kita pun juga turut melakukan dan menyatakan pekerjaan-pekerjaan Allah.  
          Di tengah pusaran pandemik Covid-19, marilah kita tidak melihat kondisi ini sebagai kutukan dari dosa-dosa manusia. Akan tetapi, sebagai kondisi di mana pekerjaan-pekerjaan Allah dinyatakan. Marilah kita mengulurkan tangan bagi mereka yang membutuhkan pertolongan kita untuk menyatakan penyelenggaraan Ilahi. Di tengah pandemik Covid-19 ini, Quo Vadis (ke mana engkau pergi)? Pergi dan arahkanlah dirimu menjadi bagian dari Providentia Dei.

 
Renungan ini ditulis oleh  Antonius Prasetyo Jati (Juara 2 Lomba Menulis Renungan dari Permata 2020)












No comments:

Post a Comment